Kami Membeli Gaharu Kelas Super dan Kelas AB1 dengan harga yang pantas. Kami hanya mau bekerjasa dengan para pencari saja yang bersifat jujur. Kalau anda mempunyai kayu gaharu super dan Ab1 silahkan kontak kami:
Kelas Ab1 |
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
------------------------------------------------------------------
Pembeli Gaharu di ternate dan Maluku 2016 - 2017 Ketentuan tersebut bertujuan untuk memperkecil risiko yang akan dialami dan juga untuk menjaga agar kondisi bank tetap berjalan secara efisien, sehat, wajar serta mampu melindungi dengan baik dana yang dihimpun oleh bank dalam masyarakat. Guna menjamin kepentingan bank maka salah satunya dalam memberikan perlindungan dan kepastian hukum pada bank untuk menyelesaikan kredit bermasalahnya dengan cepat dan biaya ringan adalah dengan memperkuat lembaga jaminan untuk kredit yaitu dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan Dengan Tanah atau Kependekan dari Undang-Undang tersebut adalah “ Undang-Undang Hak Tanggungan “ ( UUHT ). Lembaga ini banyak memberikan manfaat dan kepastian dalam menyelesaikan kredit macet perbankan dengan sistem yang terjaga dan eksekusi yang mudah terhadap objek Hak Tanggungan tanpa harus melalui gugatan di Pengadilan Negeri yang berbelit dan membutuhkan waktu yang lama. Hak Tanggungan merupakan jaminan yang bendanya berupa tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai untuk tanah Negara yang telah terdaftar. Pembebanan Hak Tanggungan dilakukan oleh debitur nasabah suatu Bank dengan memberi kuasa pada Bank selaku kreditur melalui kuasa membebankan Hak Tanggungan yang dibuat dalam bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, disingkat dengan SKMHT dihadapan Notaris. Kemudian pihak Bank akan menghadap pada Notaris untuk dibuatkan Akta Pembebanan Hak Tanggungan, disingkat dengan APHT, yang dikeluarkan dalam bentuk grosse akta, dalam Undang-Undang Hak Tanggungan akta ini disebut dengan istilah Sertifikat Hak Tanggungan. Selanjutnya dalam Undang-Undang Hak Tanggungan disebutkan bahwa pemegang Sertifikat Hak Tanggungan berhak atas benda jaminan untuk pembayaran sejumlah uang milik debitur dengan hak preferen terhadap kreditur lainnya, jika debitur tidak dapat melunasi utangnya pada waktu yang telah ditentukan.
Dalam Undang-Undang Hak Tanggungan diatur bahwa untuk melidungi hak kreditur apabila debitur wanprestasi adalah melalui eksekusi Hak Tanggungan. Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
Pasal 6 UUHT itu memberikan hak bagi pemegang Hak Tanggungan
untuk melakukan parate eksekusi, artinya pemegang Hak Tanggungan berhak
untuk menjual objak Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa
memerlukan persetujuan dari pemberi Hak Tanggunan dan juga tidak perlu
meminta penetapan dari Pengadilan setempat apabila akan melakukan
eksekusi atas Hak Tanggungan yang menjadi jaminan utang apabila debitur
cidera janji. Pemegang Hak Tanggungan dapat langsung datang dan meminta
kepada Kantor Lelang untuk melakukan pelelangan atas objek Hak
Tanggungan yang bersangkutan.
Selanjutnya Pasal 20 ayat (1) UUHT :
Apabila debitur cidera janji, maka berdasarkan :
a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), objek hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam Peraturan Perundang-Undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului dari pada kreditur-kreditur lainnya.
Pasal 20 ayat (2) UUHT :
Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan objek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.
Pasal 20 ayat (3) UUHT :
Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan / atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.
Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUHT tersebut berarti bahwa jika debitur
cidera janji, maka objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum yang dilakukan menurut tata cara dalam Peraturan Perundang-Undangan. Hal ini dilakukan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului dari para kreditur lain. Eksekusi ini berdasarkan :
a. Pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan (Pasal 6 UUHT), atau
b. Titel eksekutorial dalam sertifikat Hak Tanggungan (Pasal 14 ayat (2) UUHT).
Sertifikat Hak Tanggungan yang memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan Pengadilan yang berlaku sebagai pengganti Grose akte hipotek sepanjang mengenai hak atas tanah (Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Hak Tanggungan kemudian adanya kesepakatan antara pemberi dan Pemegang Hak Tanggungan, penjualan objek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan, jika dengan cara itu dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak, demikian ditentukan oleh Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan. Penjualan dibawah tangan terhadap objek Hak Tanggungan hanya dapat dilaksanakan bila ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, bank tidak mungkin melakukan penjualan di bawah tangan terhadap objek Hak Tanggungan itu apabila debitur tidak menyetujuinya. Dalam penjelasan Undang-Undang tersebut dijelaskan kesempatan ini diberikan, jika diperkirakan melalui pelelangan umum tidak akan menghasilkan harga tertinggi. Oleh karena itu dapat dilakukan penjualan di bawah tangan, jika ada kesepakatan antara debitur dan kreditur dan dipenuhi syarat Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Hak Tanggungan.
Para debitur yang memperoleh kredit dari bank tidak seluruhnya dapat mengembalikan dengan baik dan tepat waktu yang diperjanjikan. Pada kenyataannya selalu ada sebagian nasabah yang karena sesuatu sebab sehingga tidak dapat mengembalikan kredit kepada bank yang telah meminjaminya. Apalagi dalam keadaan perekonomian yang makin terpuruk dan jauh dari ketidak pastian saat ini mengakibatkan banyak terjadi kredit macet pada bank-bank pemberi kredit. Salah satu langkah yang ditempuh oleh bank-bank untuk mendapatkan kembali pinjaman yang diberikan kepada debitur adalah melakukan eksekusi atas objek jaminan yang diserahkan dan telah dibebani Hak Tanggungan.
Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT dapat disimpulkan, bahwa pemegang Hak Tanggungan dapat melakukan eksekusi tanpa pertolongan dari Hakim yaitu parate eksekusi. Namun dalam kenyataan praktek sehari-hari tidak seperti yang di harapkan sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang Hak Tanggungan, dimana pemegang Hak Tanggungan tidak dapat langsung meminta kepada Kantor Lelang Negara untuk melakukan lelang. Bagi kreditur yang hendak melakukan eksekusi perlu berhubungan dengan instansi yang berwenang melakukan eksekusi (eksekutor) yaitu untuk bank milik Pemeritah menyerahkan persoalan piutangnya ke KP2LN. Sedangkan untuk bank swasta maupun kreditur perseorangan menyerahkan persoalannya ke Pengadilan Negeri. Dan selanjutnya instansi ini akan melelang tanah yang dibebani Hak Tanggungan dengan bantuan KP2LN. Kemudian dalam penggunaan Hak Tanggungan sebagai jaminan kredit bank masih menemui beberapa hambatan yaitu mulai dari keraguan bank mengenai status tanah yang akan dijadikan objek Hak Tanggungan yang memerlukan penyelidikan.
Hal-hal yang perlu diselidiki dari tanah yang akan dijadikan objek Hak Tanggungan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 atau tidak. Jika persoalan itu telah terjawab juga perlu diselidiki apakah tanah itu dalam keadaan sengketa atau tidak dan kemudian apakah calon nasabah merupakan pemegang sah hak atas tanah tersebut atau tidak. Tugas penyelidikan tersebut oleh pihak bank dilimpahkan kepada notaris selaku pejabat umum yang diberi kewenangan untuk mengeluarkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT).
Pembeli Gaharu di ternate dan Maluku 2016 - 2017 Persoalan lain yang dihadapi oleh pihak bank selaku kreditur dalam menggunakan Hak Tanggungan sebagai jaminan kredit bank adalah mengenai eksekusi Hak Tanggungan jika nasbah wanprestasi, tidak menjalankan kewajibannya. Dari tahun pengesahannya hingga kini ternyata pasal mengenai eksekusi Hak Tanggungan belum juga diimplementasikan sebagaimana mestinya. Proses eksekusi Sertifikat Hak Tanggungan dilakukan melalui pelelangan umum ternyata masih harus menunggu penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri Setempat, tidak serta merta dilakukan oleh Kantor Lelang Negara. Tentu saja membutuhkan waktu yang lama mengingat pada birokrasi dan manajemen Pengadilan Negeri kita saat ini. Hal ini tidak sesuai untuk mewujudkan fungsi Hak Tanggungan sebagai sarana yang bermanfaat untuk menyelesaikan sengketa kredit bank. Persoalan selanjutnya debitur tidak begitu saja dapat mengakui bahwa ia melakukan wanprestasi dengan tidak memenuhi kewajibannya membayar kredit beserta bunganya tepat pada waktu yang telah diperjanjikan. Dalam hal ini debitur mengadakan perlawanan terhadap tindakan bank selaku kreditur untuk mengeksekusi objek Hak Tanggungan dengan mengajukan gugatan perdata pada Pengadilan Negeri yang berwenang, sehingga tujuan Hak Tanggungan sebagai sistem jaminan yang mudah untuk dieksekusi tidak tercapai karena pihak bank tetap harus menyelesaikan sengketa tersebut melalui proses peradilan perdata yang cukup memakan waktu.
Dalam Undang-Undang Hak Tanggungan diatur bahwa untuk melidungi hak kreditur apabila debitur wanprestasi adalah melalui eksekusi Hak Tanggungan. Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
Pasal 6 UUHT itu memberikan hak bagi pemegang Hak Tanggungan
untuk melakukan parate eksekusi, artinya pemegang Hak Tanggungan berhak
untuk menjual objak Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa
memerlukan persetujuan dari pemberi Hak Tanggunan dan juga tidak perlu
meminta penetapan dari Pengadilan setempat apabila akan melakukan
eksekusi atas Hak Tanggungan yang menjadi jaminan utang apabila debitur
cidera janji. Pemegang Hak Tanggungan dapat langsung datang dan meminta
kepada Kantor Lelang untuk melakukan pelelangan atas objek Hak
Tanggungan yang bersangkutan.
Selanjutnya Pasal 20 ayat (1) UUHT :
Apabila debitur cidera janji, maka berdasarkan :
a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), objek hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam Peraturan Perundang-Undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului dari pada kreditur-kreditur lainnya.
Pasal 20 ayat (2) UUHT :
Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan objek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.
Pasal 20 ayat (3) UUHT :
Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan / atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.
Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUHT tersebut berarti bahwa jika debitur
cidera janji, maka objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum yang dilakukan menurut tata cara dalam Peraturan Perundang-Undangan. Hal ini dilakukan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului dari para kreditur lain. Eksekusi ini berdasarkan :
a. Pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan (Pasal 6 UUHT), atau
b. Titel eksekutorial dalam sertifikat Hak Tanggungan (Pasal 14 ayat (2) UUHT).
Sertifikat Hak Tanggungan yang memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan Pengadilan yang berlaku sebagai pengganti Grose akte hipotek sepanjang mengenai hak atas tanah (Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Hak Tanggungan kemudian adanya kesepakatan antara pemberi dan Pemegang Hak Tanggungan, penjualan objek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan, jika dengan cara itu dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak, demikian ditentukan oleh Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan. Penjualan dibawah tangan terhadap objek Hak Tanggungan hanya dapat dilaksanakan bila ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, bank tidak mungkin melakukan penjualan di bawah tangan terhadap objek Hak Tanggungan itu apabila debitur tidak menyetujuinya. Dalam penjelasan Undang-Undang tersebut dijelaskan kesempatan ini diberikan, jika diperkirakan melalui pelelangan umum tidak akan menghasilkan harga tertinggi. Oleh karena itu dapat dilakukan penjualan di bawah tangan, jika ada kesepakatan antara debitur dan kreditur dan dipenuhi syarat Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Hak Tanggungan.
Para debitur yang memperoleh kredit dari bank tidak seluruhnya dapat mengembalikan dengan baik dan tepat waktu yang diperjanjikan. Pada kenyataannya selalu ada sebagian nasabah yang karena sesuatu sebab sehingga tidak dapat mengembalikan kredit kepada bank yang telah meminjaminya. Apalagi dalam keadaan perekonomian yang makin terpuruk dan jauh dari ketidak pastian saat ini mengakibatkan banyak terjadi kredit macet pada bank-bank pemberi kredit. Salah satu langkah yang ditempuh oleh bank-bank untuk mendapatkan kembali pinjaman yang diberikan kepada debitur adalah melakukan eksekusi atas objek jaminan yang diserahkan dan telah dibebani Hak Tanggungan.
Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT dapat disimpulkan, bahwa pemegang Hak Tanggungan dapat melakukan eksekusi tanpa pertolongan dari Hakim yaitu parate eksekusi. Namun dalam kenyataan praktek sehari-hari tidak seperti yang di harapkan sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang Hak Tanggungan, dimana pemegang Hak Tanggungan tidak dapat langsung meminta kepada Kantor Lelang Negara untuk melakukan lelang. Bagi kreditur yang hendak melakukan eksekusi perlu berhubungan dengan instansi yang berwenang melakukan eksekusi (eksekutor) yaitu untuk bank milik Pemeritah menyerahkan persoalan piutangnya ke KP2LN. Sedangkan untuk bank swasta maupun kreditur perseorangan menyerahkan persoalannya ke Pengadilan Negeri. Dan selanjutnya instansi ini akan melelang tanah yang dibebani Hak Tanggungan dengan bantuan KP2LN. Kemudian dalam penggunaan Hak Tanggungan sebagai jaminan kredit bank masih menemui beberapa hambatan yaitu mulai dari keraguan bank mengenai status tanah yang akan dijadikan objek Hak Tanggungan yang memerlukan penyelidikan.
Hal-hal yang perlu diselidiki dari tanah yang akan dijadikan objek Hak Tanggungan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 atau tidak. Jika persoalan itu telah terjawab juga perlu diselidiki apakah tanah itu dalam keadaan sengketa atau tidak dan kemudian apakah calon nasabah merupakan pemegang sah hak atas tanah tersebut atau tidak. Tugas penyelidikan tersebut oleh pihak bank dilimpahkan kepada notaris selaku pejabat umum yang diberi kewenangan untuk mengeluarkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT).
Pembeli Gaharu di ternate dan Maluku 2016 - 2017 Persoalan lain yang dihadapi oleh pihak bank selaku kreditur dalam menggunakan Hak Tanggungan sebagai jaminan kredit bank adalah mengenai eksekusi Hak Tanggungan jika nasbah wanprestasi, tidak menjalankan kewajibannya. Dari tahun pengesahannya hingga kini ternyata pasal mengenai eksekusi Hak Tanggungan belum juga diimplementasikan sebagaimana mestinya. Proses eksekusi Sertifikat Hak Tanggungan dilakukan melalui pelelangan umum ternyata masih harus menunggu penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri Setempat, tidak serta merta dilakukan oleh Kantor Lelang Negara. Tentu saja membutuhkan waktu yang lama mengingat pada birokrasi dan manajemen Pengadilan Negeri kita saat ini. Hal ini tidak sesuai untuk mewujudkan fungsi Hak Tanggungan sebagai sarana yang bermanfaat untuk menyelesaikan sengketa kredit bank. Persoalan selanjutnya debitur tidak begitu saja dapat mengakui bahwa ia melakukan wanprestasi dengan tidak memenuhi kewajibannya membayar kredit beserta bunganya tepat pada waktu yang telah diperjanjikan. Dalam hal ini debitur mengadakan perlawanan terhadap tindakan bank selaku kreditur untuk mengeksekusi objek Hak Tanggungan dengan mengajukan gugatan perdata pada Pengadilan Negeri yang berwenang, sehingga tujuan Hak Tanggungan sebagai sistem jaminan yang mudah untuk dieksekusi tidak tercapai karena pihak bank tetap harus menyelesaikan sengketa tersebut melalui proses peradilan perdata yang cukup memakan waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar