Senin, 20 Juni 2016

Pembeli kayu agahru di Poso dan Palu Sulawesi Tengah 2016

Jika anda berada di wilayah Indonesia dan Memiliki Gaharu dengan Kriteria seperti di bawah ini :

    Gaharu Kelas Super, Super King dan Saba Ulir
  1.     Kondisi Kering
  2.     Warna Hitam
  3.     Tenggelam di air seperti Tenggelam batu

Maka saya siap Membeli semua kayu dengan kriteria di atas dengan harga yang pantas. Silahkan lihat contoh kayu yang saya mau beli seperti gambar di bawah :
Silahkan anda mengontak saya ke Nomor 0818 623 964 , pada jam kerja dari jam 8.00 wib - 17.00 wib. sebelum mengontak saya rekan sekalian harus menyiapkan foto dari berbagai sudut ( tengah, ujung bawah dan ujung atas. Atas kerjasamanya saya ucapkan terimakasih








































OK
-------------------------------
Hukum merupakan sarana perlindungan hutan, agar kelestarian kemampuan
yang dimiliki oleh hutan dapat tetap terjaga. Oleh karena itu hukum harus
ditegakkan. Menurut Mertokusumo42.
“Pelaksanaan hukum dapat berarti menjalankan hukum tanpa ada sengketa atau pelanggaran. Ini meliputi pelaksanaan hukum  oleh setiap warga negara setiap hari yang tidak disadarinya dan juga aparat negara, seperti misalnya polisi yang berdiri di perempatan jalan mengatur lalu lintas (Law enforcement). Di samping itu pelaksanaan hukum dapat terjadi kalau ada sengketa, yaitu yang dilaksanakan oleh hakim. Ini sekaligus merupakan penegakan hukum”.
Lebih lanjut Mertokusumo mengatakan bahwa dalam menegakan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu : kepastian hukum (rechticherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit)43. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Fiat justitia et pereatmundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakan). Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Demikian juga keadilan adalah hal yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum yang harus dapat memberikan keadilan bagi masyarakat 
41 JE.Sahetapy, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakata , hlm 39 42 Sudikno Mertokusumo, op. cit, hlm.36 43 Ibid hlm 127
Ada tiga aliran atau teori dalam ilmu pengetahuan pidana yang memberikan
dasar bagi penjatuhan pidana oleh penguasa atas wewenang penguasa untuk
menjatuhkan pidana , yaitu :
     a.    Teori Absolut atau “vergeldings theorie” yang mempunyai ajaran bahwa yang dianggap sebagai dasar dari pada pidana ialah sifat “pembalasan” (vergelding or vergeltung). Di antara penganut teori ini adalah Immanuel Kant yang memandang pidana sebagai “kattegorische imperatief” yakni : seseorang harus dipidana oleh hakim karena ia telah melakukan kejahatan dan Hegel yang berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan. Menurut Andenaes bahwa tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori absolut ini adalah untuk memuaskan tuntunan keaslian (to satisfy the clims of justice) sedangkan pengaruh-pengaruhnya yang menguntungkan adalah sekunder44. Aliran ini berpendapat bahwa pidana adalah pembalasan, pemberian pidana dapat dibenarkan, karena telah menjadi suatu kejahatan yang telah menggoncangkan masyarakat. Kejahatan adalah perbuatan yang telah menimbulkan penderitaan anggota masyarakat lainnya, sehingga untuk mengembalikan keadaan seperti semula, maka penderitaan itu harus dibalas dengan penderitaan pula yaitu pidana (nestapa) terhadap pelakunya
     b.    Teori relatif atau teori tujuan (doel theorien). Menurut teori ini bahwa pidana

dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan) 44 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.cit, hlm 11
melainkan “ne peccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan). Salah seorang penganut teori ini adalah Seneca yang terkenal dengan ucapannya “nemo prudens punit quia peccatum est, sed ne pecceter” (artinya no reasonable man punishes because there has been a wrong doing, but in order that there should be no wrong doing = tidak seorang normal pun dipidana karena telah melakukan suatu perbuatan jahat, tetapi ia dipidana agar tidak ada perbuatan jahat) Johanes Andenaes menyebut teori ini juga sebagai teori pelindung masyarakat 45
Aliran ini menurut Koeswadji menafsirkan tujuan pokok dari pemidanaan Yaitu : 1) Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (de handhaving van de maatshappelijke orde) 2) Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari terjadinya kejahatan (het herstel van het door de misdaad onstance maatschappelijke nadeed) 3) Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering van de dader) 4) Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de misdadinger) 5) Untuk mencegah kejahatan (ter voorkoming van de misdaad)46
c.    Teori gabungan antara teori absolut dan teori relatif. Teori ini menggunakan
kedua teori tersebut di atas sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbagan
bahwa kedua teori tersebut memiliki kelemahan-kelemahan :
1)    Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena dalam penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan pembalasan dimaksud tidak harus segera yang melaksanakan.
45 Ibid, hlm 1 46 Koeswadji, Hukum Pidana Lingkungan, Citra Aditya, Bandung, 1993, hlm.12
2)    Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukuman berat, kepuasan masyarakat diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki masyarakat, dan mencegah kejahatan dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan.47
Urgensi perlindungan hutan dalam perundang-undangan pidana terhadap kejahatan dibidang kehutanan termasuk kejahatan penebangan liar (illegal logging), adalah perlindungan terhadap fungsi pokok dari hutan itu sendiri, baik fungsi ekologi, ekonomi maupun sosial budaya yang dampaknya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di dalam dan disekitar hutan dan masyarakat secara nasional, tetapi juga masyarakat dalam konteks regional dan internasional. Tampaknya teori gabungan sebagaimana yang dijelaskan oleh Koeswadji di atas yang relevan sebagai dasar pelaksanaan pidana terhadap kejahatan penebangan liar (illegal logging) mengingat pertimbangan¬pertimbangan kelemahan dari kedua teori lainnya.
Orientasi kebijakan pidana dalam UU No. 41 tahun 1999 sebagaimana ditegaskan dalam paragraf 18 penjelasan umumnya bahwa pemberian sanksi pidana dan administrasi yang berat diharapkan akan dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum dibidang kehutanan. Hal ini pada dasarnya menganut tujuan pemidanaan berdasarkan teori relatif yaitu :
“Aglemene atau generale preventie, yaitu pencegahan yang ditujukan secara umum kepada masyarakat, sehingga dengan demikian sifat pencegahannya bersifat umum, dan bijzondere atau speciale preventie yaitu pencegahan yang ditujukan kepada sipenjahat itu sendiri (pencegahan khusus)48
47 Ibid, hlm 12 Ibid hlm 9
Menurut pandangan ini bahwa tujuan pemidanaan itu adalah untuk menakut-nakuti orang banyak dan sipenjahat sendiri dengan memberikan sanksi berat, sehingga dengan penerapan sanksi yang berat itu baik pelaku maupun orang lain akan jera untuk melakukan perbuatan yang dimaksud.
Penegakan hukum terhadap kejahatan di bidang kehutanan ini tidak lepas dari konsep penegakan hukum terhadap lingkungan. Hal ini merupakan konsekuensi logis bahwa hutan merupakan salah satu sektor lingkungan hidup. Penegakan hukum lingkungan di Indonesia mencakup penataan dan penindakan (complience and enforcement) yang meliputi bidang hukum administrasi negara, bidang perdata dan bidang hukum pidana49.
Fungsi sanksi pidana dalam kehidupan hukum lingkungan termasuk kehutanan telah berubah dari ultimatum remedium menjadi instrumen penegakan hukum yang bersifat premium remedium50 . Lebih lanjut dinyatakan bahwa ketentuan tentang sanksi pidana dalam undang-undang lingkungan hidup tentang tugas pemerintah menggariskan kebijakan dan melakukan tindakan yang mendorong ditingkatkannya upaya pelestarian lingkungan hidup yang serasi dan seimbang. Artinya, ada keseimbangan antara pemanfaatan maupun perlindungan terhadap hutan harus terintegrasi dalam satu konsep pembangunan. Dengan demikian perusak hutan perlu diberi penyuluhan, bimbingan serta insentif dan
49 Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni, Bandung, 2001, hlm.21550 Rangkuti, Hukum lingkungan Dan Kebijakan  Lingkungan Nasional , Airlangga University, Surabaya, 2000 hlm 323
disinsentif, sehingga benar-benar menyadari kewajibannya dan bagi yang sengaja dan alpa mentaati ketentuan itu, dikenakan sanksi sebagai tindak lanjut.
Terkait dengan Undang-Undang Kehutanan dan perkembangan Hukum
Pidana, telah ditandai dengan lahirnya aliran modern pada abad ke 19 yang
hakikatnya mendasarkan ajarannya pada :
     (1)    Tujuan utama hukum pidana adalah perjuangan melawan kejahatan, karena kejahatan dianggap sebagai gejala masyarakat.
     (2)    Ilmu pengetahuan hukum pidana dan perundang-undangan hukum pidana harus meperhitungkan hasil studi yang diadakan oleh antropologi, sosiologi dan ekonomi.
     (3)    Hukum pidana hanya merupakan salah satu penyelesaian yang ditentukan oleh negara dalam memerangi kejahatan Pidana bukan merupakan satu¬satunya sarana untuk memberantas, oleh karena itu pidana harus dijatuhkan dalam kombinasi dengan peraturan-peraturan kemasyarakatan sosial lainnya (maatregel, treatment), terutama yang bersifat preventif51

Mengacu pada pendapat tersebut diatas maka dapatlah diketahui pentingnya kedudukan hukum pidana dalam fungsinya sebagai “penegak/penguat” sanksi di antara beberapa sanksi yang dapat dijatuhkan dalam konteks perlindungan terhadap hutan. Penegakan hukum pidana sebagai ultimatum remedium adalah upaya untuk menjaga kelestarian fungsi hutan. Pengoptimalan penggunaan hukum pidana dalam bidang lingkungan hidup pada umumnya dan kehutanan khususnya sejalan dengan perkembangan yang terjadi dalam hukum pidana.
Mengingat penggunaan sanksi pidana dalam penegakan hukum lingkungan termasuk bidang kehutanan bersifat istimewa, dalam arti sifat
51 Koeswadji, Op.cit, hlm 85
hukum kehutanan yang sangat istimewa, karena menyangkut aspek perlindungan hutan untuk pendayagunaan sumber daya alam menuju pembangunan berkelanjutan, untuk pelestarian dan pengembangan kemampuan lingkungan hidup, adanya hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan, sehingga perusakan hutan yang berarti perusakan terhadap lingkungan dapat berakibat pada terganggunya daya dukung lingkungan yang memerlukan beban/biaya sosial yang tinggi untuk pemulihannya. Oleh karena itu, sanksi pidana sangat diperlukan  dalam penegakan hukum kehutanan.
Penyidikan serta pelaksanaan sanksi administrasi atau sanksi pidana merupakan bagian akhir (sluitstuk) dari penegakan hukum. Yang perlu ada terlebih dahulu adalah penegakan preventif, yaitu pengawasan dan pelaksanaan peraturan52. Pengawasan preventif ini ditujukan kepada pemberian pelarangan dan saran serta upaya menyakinkan seseorang dengan bijaksana agar beralih dari suasana pelanggaran ke tahap pemenuhan ketentuan peraturan. Hal ini sesuai dengan teori relatif tentang tujuan pemidanaan yaitu ada upaya perbaikan bagi pelaku, dan yang terutama adalah bagaimana mengembalikan kerusakan hutan kedalam kondisi semula.
Implikasi dari perkembangan kejahatan penebangan liar (illegal logging)
baik dalam bentuk modus operandi maupun pelaku, bukan hanya penegakan
hukum dalam upaya preventif saja yang tidak dapat berjalan dengan baik, akan
52 Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002, hlm.376
Pembeli kayu agahru di Poso dan Palu Sulawesi Tengah 2016 tetapi upaya represif dalam bentuk penegakan hukum pidana juga tidak lagi efektif. Ketentuan pidana kehutanan sebagai lex specialis (kekhususan/ pengecualian) dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penebangan liar (illegal logging) yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, maupun ketentuan pidana lainnya yang terkait, tidak dapat mengakomodasi perkembangan kejahatan penebangan liar (illegal logging), sehingga diperlukan politik hukum pidana untuk memenuhi kebutuhan perkembangan tersebut.
Politik hukum menurut Bellefroid  yaitu : “bagian dari ilmu hukum meneliti perubahan hukum yang berlaku yang harus dilakukan untuk memenuhi tuntutan baru kehidupan masyarakat. (De rechtpolitiek anderzoekt, welke veradenringen in het bestande rech moeten worden gebracht om aan de nieuwe eisen van het maatschappelijk leven te voldoen)”53
Pendapat tersebut indentik dengan pendapat Sugeng Istanto yaitu bahwa “politik hukum membahas perubahan hukum yang berlaku (ius constitutum) menjadi hukum yang seharusnya (ius constituendum) untuk memenuhi perubahan kehidupan dalam masyarakat”54

Tidak ada komentar:

Posting Komentar