Jual Gaharu |
Jual Gaharu Kepada rekan-rekan Suplier Kayu Gaharu diseluruh Indonesia, Kami Sebagai pembeli kayu Gaharu siap melakukan kerjasama dengan sistem pembelian Tunai dari kayu Gaharu yang anda miliki.
Jika anda memiliki kayu gaharu dari alam jangan sungkan untuk mengontak kami. Kami akan memberikan informasi yang anda butuhkan. Semoga dengan adanya blog ini para petani tidak kesulitan untuk menjual kayu gaharu milikinya dengan harga yang pantas dan sesuai dengan harga pasar.
Untuk Tahap Pertama, prioritas kami adalah membeli :
1. Kayu Gaharu Super Alam
2. Selanjutnya Kelas dibawahnya
Untuk Lebih jelas silahkan Hubungi di 0811 22 500 76 ( Tidak SMS).
Labsain Edu Media
Jln. Nagrog No. 11 A Ujungberung
Bandung
Jika anda memiliki kayu gaharu dari alam jangan sungkan untuk mengontak kami. Kami akan memberikan informasi yang anda butuhkan. Semoga dengan adanya blog ini para petani tidak kesulitan untuk menjual kayu gaharu milikinya dengan harga yang pantas dan sesuai dengan harga pasar.
Untuk Tahap Pertama, prioritas kami adalah membeli :
1. Kayu Gaharu Super Alam
2. Selanjutnya Kelas dibawahnya
Untuk Lebih jelas silahkan Hubungi di 0811 22 500 76 ( Tidak SMS).
Labsain Edu Media
Jln. Nagrog No. 11 A Ujungberung
Bandung
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
kata dasarnya, yaitu “ angkut “ yang berarti angkat dan bawa, muat dan
bawa atau kirimkan, sehingga mengangkut berarti mengangkat dan
membawa, memuat dan membawa atau mengirimkan. Sedangkan
pengangkutan berarti pengangkatan dan pembawaan barang atau orang
atau pemuatan dan pengiriman barang atau orang. Dengan demikian,
pengangkutan mengandung suatu kegiatan memuat barang atau
penumpang ke tempat lain, dan menurunkan barang atau penumpang
tersebut. Berdasarkan pengertian pengangkutan secara umum tersebut,
maka Abdul Kadir ( 1991:19 ) merumuskan definisi sebagai berikut :
“Pengangkutan adalah proses kegiatan memuat barang atau penumpang
ke dalam alat pengangkutan membawa barang atau penumpang dari
tempat pemuatan ke tempat tujuan dan menurunkan barang atau
penumpang dari alat pengangkutan ke tempat yang ditentukan”.
Sementara itu, definisi pengangkutan secara umum juga diberikan
oleh H.M.N.Purwosutjipto ( 2003 : 22 ) yaitu : Jual Gaharu
“Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dan
pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan
pengangkutan barang dan / orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan”.
Setelah menela’ah definisi pengangkutan oleh H.M.N. Purwosutjipto, dapat diketahui bahwa penyelenggaraan pengangkutan dilandasi oleh suatu bentuk perjanjian yang bersifat timbal balik. Dalam arti bahwa para pihak dalam perjanjian ini adalah Pengangkutan dan Pengirim / Penumpang, yang masing-masing memiliki kewajiban dan hak sendiri-sendiri. Jual Gaharu Kewajiban Pengangkut berupa menyelenggarakan jasa pengangkutan barang/orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sehingga pengangkut berhak untuk menerima pembayaran uang pengangkutan dari Pengirim/Penumpang. Sedangkan pengirim/penumpang berkewajiban membayar uang pengangkutan kepada pengangkutan, sehingga pengirim/penumpang berhak untuk memperoleh pelayanan jasa pengangkutan secara aman dan selamat hingga tiba di tempat tujuan.
2. Pengertian pengangkutan laut Pengangkutan melalui laut merupakan usaha pelayaran niaga yang bergerak dalam bidang penyediaan jasa angkutan muatan laut dimana kegiatan usahanya sangat luas bidangnya serta memegang peranan penting untuk memajukan perdagangan dalam dan luar negeri termasuk didalam usahanya memperlancar arus barang dari daerah produksi ke daerah konsumen. Dalam pengertian perdagangan pengangkutan laut dapat dianggap sebagai suatu kegiatan dari kesibukan yang bertujuan mempertinggi arti
dan kegunaan suatu barang dengan jalan memindahkan barang tersebut dari suatu pulau (negara) ke pulau (negara) lain. ( Djatmiko, 1996 : 119)
Jual Gaharu Menurut Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 1988 tentang Angkutan Perairan mendefinisikan pengertian angkutan laut adalah setiap angkutan dengan menggunakan kapal untuk mengangkut penumpang, barang dan atau hewan dalam satu perjalanan atau lebih dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain yang diselenggarakan oleh perusahaan angkutan laut.(PP No. 82 tahun 1999 bab I pasal 1 ayat 2 tentang Angkutan Perairan).
3. Tujuan dan Fungsi Pengangkutan Laut Tujuan pengangkutan laut adalah meningkatkan daya guna dan nilai baik barang maupun penumpang yang diangkut dari satu pelabuhan menuju ke pelabuhan tujuan . Hal ini selaras dengan tujuan pengangkutan secara umum sebagaimana dirumuskan oleh Purwosutjipto (2003:1) yaitu “untuk meningkatkan daya guna dan nilai baik barang maupun penumpang”. Sementara itu, Abdul Kadir (1991:19) merumuskan tujuan pengangkutan berupa “sampai atau tiba di tempat tujuan pengangkutan berupa “sampai atau tiba di tempat tujuan yang ditentukan dengan selamat dan biaya pengangkutan lunas”. Berdasarkan rumusan tujuan pengangkutan tersebut diatas, maka apabila kegiatan perpindahan barang atau orang (penumpang) tersebut tidak mampu meningkatkan daya guna dan nilainya, sehingga kegiatan tersebut tidak perlu dilakukan mengingat hanya merupakan kegiatan yang
merugikan terutama bagi para pedagang maupun penumpang selaku pekerja.
Fungsi pengangkutan secara umum adalah memindahkan barang Jual Gaharu
atau orang dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan maksud untuk
meningkatkan daya guna dan nilai.
Meningkatnya kegunaan dan nilai barang maupun penumpang tersebut dimungkinkan dengan adanya kegiatan pemindahan barang dan penumpang dengan alat pengangkutan dari suatu tempat dimana kegunaan dan nilai barang dan penumpang tersebut terlalu rendah, menuju ke tempat lain yang kegunaan dan nilainya relatif lebih tinggi. Begitupun dengan penyelenggaraan pengangkutan laut, dalam hal mana fungsinya juga dimaksudkan untuk meningkatkan kegunaan dan nilai barang maupun penumpang yang diangkut dari satu pelabuhan menuju pelabuhan tujuan pengangkutan.
4. Tentang Pengangkutan Barang Jual Gaharu
a. Pengertian barang KUHD tidak memberi penjelasan mengenai definisi/pengertian barang. Sedangkan The Hague Rules 1924 pasala 1 c memberi definisi/pengertian barang sebagai berikut : “ Segala macam barang dan barang-barang dagangan, terkecuali hewan hidup serta muatan yang menurut perjanjian pengangkutan harus diangkut di dek dan memang dimuat di dek”.
Selanjutnya The Hamburg Rules 1978 pasal 1 ayat (5) memberi pengertian barang (goods) dengan tambahan yang lebih terperinci, yaitu : “ termasuk binatang hidup, barang-barang yang dimasukkan dalam tempat barang (container) atau pembungkus (packed), barang-barang yang dimasukkan dalam tempat pengangkutan atau pembungkusan penambahan oleh pengirim barang”. ( Siti Utari, 1994 : 38 )
b. Keadaan barang yang diangkut Tidaklah mudah menetapkan bagaimana keadaan barang-barang pada waktu sampai di pelabuhan alamat, yaitu apakah barang-barang itu rusak atau tidak, dan kalau rusak sampai di mana timbul adanya kerugian. Untuk menentukan itu perlu adanya orang-orang ahli, seperti yang diatur dalam pasal 483 dan pasal 484 KUHD yang menyatakan : 1) dimungkinkan bahwa atas permintaan si pengangkut atau si penerima oleh Pengadilan Negeri setempat diangkat beberapa orang ahli (pasal 483 KUHD).
2) Jual Gaharu apabila dilakukan pemeriksaan oleh orang-orang ahli ini dengan dihadiri oleh para pihak atau mereka dipanggil sepantasnya untuk menghadiri itu, maka hasil pemeriksaan ini dimuka hakim hanya dapat dibantah dengan membuktikan kekeliruannya (pasal 484 KUHD).
Kemudian adakalanya keadaan barang pada waktu diterima oleh pemegang konosemen tidak cocok dengan penyebutan dalam surat konosemen. Jika di dalam surat konosemen disebut suatu klausul bahwa ujud, jumlah, atau ukuran barang yang diangkut itu tidak dikenal, maka si pengangkut tidak terikat pada penyebutan hal-hal itu dalam bagian lain dari surat konosemen, kecuali apabila si pengangkut tahu atau sepantasnya harus tahu ujud barang-barang itu (pasal 513 KUHD).
Kalau dalam surat konosemen sama sekali tidak disebut keadaan barang yang diangkut, maka si pengangkut hanya bertanggung jawab atas tetap terwujudnya barang seperti pada waktu dimasukkan dalam kapal, sepanjang dapat dilihat dari luar (pasal 514 KUHD)
5. Jual Gaharu Asas Perjanjian Pengangkutan Ada empat asas pokok yang mendasari perjanjian pengangkutan, adalah sebagai berikut :
a. Asas konsensual asas ini tidak mensyaratkan bentuk perjanjian pengangkutan secara tertulis, sudah cukup apabila ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Dalam kenyataannya, hampir semua perjanjian pengangkutan darat, laut, dan udara dibuat secara tidak tertulis (lisan), tetapi selalu didukung oleh dokumen pengangkutan. Dokumen pengangkutan bukan perjanjian tertulis, melainkan sebagai bukti bahwa persetujuan antara pihak-pihak itu ada. Alasan perjanjian pengakutan tidak dibuat secara tertulis karena kewajiban dan hak pihak-pihak telah ditentukan dalam undang-undang. Mereka hanya menunjuk atau menerapkan ketentuan undang-undang.
b. Jual Gaharu Asas koordinasi Asas ini mensyaratkan kedudukan yang sejajar antara pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan. Walaupun perjanjian pengangkutan merupakan “Pelayanan jasa”, asas subordinasi antara buruh dan majikan pada perjanjian perburuhan tidak berlaku pada perjanjian pengangkutan. Berdasarkan hasil penelitian dalam perjanjian pengangkutan darat, laut dan udara ternyata pihak pengangkutan bukan buruh pihak pengirim atau penumpang.
c. Jual Gaharu Asas campuran Perjanjian pengangkutan merupakan campuran dari tiga jenis perjanjian, yaitu pemberian kuasa dari pengirim kepada pengangkut, penyimpanan barang dari pengirim kepada pengangkut, dan melakukan pekerjaan pengangkutan yang diberikan oleh pengirim kepada pengangkut. Dengan demikian, ketrentuan – ketentuan dari tiga jenis perjanjian itu berlaku juga dalam perjanjian pengangkutan, kecuali jika perjanjian pengangkutan mengatur lain. Jika dalam perjanjian pengangkutan tidak diatur lain, maka di antara ketentuan ketiga jenis perjanjian itu dapat diberlakukan. Hal ini ada hubungannya dengan asas konsensual.
d. Asas tidak ada hak retensi Jual Gaharu
Penggunaan hak retensi dalam perjanjian pengangkutan tidak dibenarkan. Penggunaan hak retensi bertentangan dengan fungsi dan tujuan pengangkutan. Berdasarkan hasil penelitian ternyata penggunaan hak retensi akan menyulitkan pengangkut sendiri, misalnya penyediaan tempat penyimpanan, biaya penyimpanan, penjagaan dan perawatan barang.
6. Prinsip Tanggung Jawab Dalam Pengangkutan Menurut Saefullah Wiradipradja dalam bukunya Abdul Kadir (1984:27) mengemukakan setidak-tidaknya ada tiga prinsip tanggung jawab pengangkut dalam hukum pengangkutan yaitu sebagai berikut :
a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan ( fault liability ) Menurut prinsip ini setiap pengangkut yang melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan pengangkutan harus bertanggung jawab membayar ganti kerugian atas segala kerugian yang timbul akibat dari kesalahannya itu. Pihak yang menderita kerugian harus membuktikan kesalahan pengangkut itu. Beban pembuktian ada pihak yang dirugikan, bukan pada pengangkut. Prinsip ini adalah yang umum berlaku seperti yang diatur dalam pasal 1365 KUHPdt tentang perbuatan melawan hukum.
b. Prinsip Tanggung jawab berdasarkan praduga ( presumption of liability ) Jual Gaharu
Menurut prinsip ini pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselengarakannya. Tetapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka ia dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian. Yang dimaksud dengan “tidak bersalah” adalah tidak melakukan kelalaian, telah mengambil tindakan yang perlu untuk menghindar kerugian, atau peristiwa yang menimbulkan kerugian itu tidak mungkin dihindari. Beban pembuktian ada pada pihak pengangkut, bukan pada pihak yang dirugikan. Pihak yang dirugikan cukup menunjukkan adanya kerugian yang diderita dalam pengangkutan yang diselengarakan oleh pengangkut.
c. Prinsip tanggung jawab mutlak ( absolute liability ) Menurut prinsip ini pengangkut harus bertanggung jawab membayar ganti kerugian terhadap setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut. Pengangkut tidak dimungkinkan membebaskan diri dari tanggung jawab dengan alasan apapun yang menimbulkan kerugian itu. Prinsip ini tidak mengenal beban pembuktian tentang kesalahan. Unsur kesalahan tidak relevan. Apabila prinsip-prinsip ini dihubungkan dengan undang-undang yang mengatur pengakutan darat, laut, dan udara di Indonesia, ternyata undang-undang pengakutan yang mengatur ketiga jenis pengangkutan tersebut menganut prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga. Hal ini terbukti dari antara lain ketentuan pasal-pasal yang diuraikan berikut ini : Dalam Pasal 468 ayat 2 KUHD ditentukan bahwa apabila barang yang diangkut itu tidak diserahkan seluruh atau sebagian, atau rusak, pengangkut bertanggung jawab mengganti kerugian kepada pengirim. Tetapi pengangkut tidak bertanggung jawab mengganti kerugian apabila ia dapat membuktikan bahwa tidak diserahkan seluruh atau sebagian atau rusaknya barang itu karena suatu peristiwa yang tidak dapat dicegah atau dihindari terjadinya.....dst Dalam pasal 522 ayat 2 KUHD ditentukn bahwa pengangkut bertanggung jawab mengganti kerugian yang disebabkan oleh luka yang dialami penumpang karena pengangkutan itu, kecuali jika ia dapat membuktikan bahwa luka itu disebabkan oleh suatu peristiwa yang tidak dapat dicegah atau dihindari terjadinya, atau kesalahan penumpang sendiri.
7. Perjanjian Pengangkutan Barang Melalui Laut Jual Gaharu
a. Pengertian Perjanjian
Perjanjian pengangkutan pada prinsipnya merupakan salah satu bentuk perjanjian pada umumnya. Pengertian perjanjian secara umum itu sendiri telah dirumuskan dalam Pasal 1313 KUH Perdata, yaitu “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”.
Berdasarkan pengertian perjanjian diatas , maka pengertian perjanjian pengangkutan menurut Subekti (1987:1) yaitu “suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu salaing berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.
Dengan menelaah pengertian perjanjian secara umum diatas, dapat diketahui bahwa sebagai akibat ditutupnya perjanjian tersebut maka timbullah suatu hubungan hukum antara pihak yang membuat perjanjian untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.
Mengingat suatu perjanjian merupakan hubungan hukum, maka dalam penitipannya perlu syarat-syarat tertentu. Dalam kaitan ini, Pasal 1320 KUH Perdata telah merumuskan empat syarat yang harus dipenuhi untuk syahnya suatu perjanjian, yaitu: 1) Sepakat mereka yang mengikatkan diri 2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian 3) Suatu hal tertentu 4) Suatu sebab yang halal .
b. Pengertian Perjanjian Pengangkutan
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pengangkutan barang melalui laut, pada dasarnya juga merupakan unsur dari kegiatan pengangkutan yang dalam pelaksanaanya didasarkan pada suatu perjanjian pengangkutan pada dasarnya, (Soekardono, 1986: 8) merumuskan sebagai berikut : “Suatu perjanjian timbal balik, bilamana pihak pengangkut
mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau/dan orang ke tempat tujuan tertentu, sedangkan pihak lainnya (pengirim-penerima; pengirim atau penerima ; penumpang berkeharusan untuk manunaikan pembayaran biaya tertentu untuk pengangkutan tersebut”.
Sementara itu, (Purwosutjipto, 1991:2) Juga merumuskan
pengertian perjanjian pengangkutan yang sifatnya senada dengan
rumusan diatas, yaitu :
Perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar angkutan”.
c. Pengertian Perjanjian Pengangkutan Laut Sesuai dengan rumusan pengertian perjanjian pengangkutan secara umum diatas, maka dapat dirumuskan pengertian perjanjian pengangkutan barang melalui laut, yaitu suatu perjanjian timbal balik antara pengangkut (perusahaan pelayaran) dengan pengirim (pemilik barang), dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang melalui laut atau dengan memakai kapal laut dari satu pelabuhan ke pelabuhan tujuan dengan selamat (aman dan utuh), sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan tersebut.
Mengingat perjanjian pengangkutan barang melalui laut bersifat timbal balik, maka kedudukan para pihak (pengangkut dan pengirim) sama tinggi, sehingga berbeda sifatnya dengan perjanjian perburuhan, dimana kedudukan majikan lebih tinggi dibandingkan dengan buruh. Dengan demikian, kedudukan para pihak dalam perjanjian pengangkutan barang melalui laut ini adalah koordinasi (gecoordineerd ).
Dalam pelaksanaan perjanjian pengangkutan barang melalui laut ini, hubungan kerja antara pengangkut dengan pengirim tidak secara terus menerus, melainkan hanya bersifat kadangkala ( berkala ), yaitu pada saat pengirim membutuhkan jasa pengangkutan untuk mengirimkan barangnya. Hal ini dimungkinkan mengingat sifat pelayanan jasa pengangkutan tersebut sifatnya tidak tetap, melainkan hanya kadangkala bilamana pengirim membutuhkan jasa pengangkutan.
Perjanjian pengangkutan barang melalui laut yang sifatnya pelayanan berkala ini, pada prinsipnya telah disinggung dalam pasal 1601 KUH Perdata, yaitu :
“Selainnya persetujuan-persetujuan untuk melakukan sementara jasa-jasa, yang diatur oleh ketentuan khusus untuk itu dan oleh syarat-syarat yang diperjanjikan dan jika tidak ada ,oleh kebiasaan,maka adalah dua macam persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk melakukan pekerjaan bagi pihak yang lainnya dengan menerima upah; persetujuan perburuhan dan pemborongan pekerjaan”.
Dari rumusan pasal di atas, dapat diketahui bahwa mengenai perjanjian pelayanan berkala ini tidak diatur secara khusus lebih lanjut di dalam KUH Perdata, melainkan sifat perikatannya bagi para pihak ditentukan oleh syarat-syarat yang diperjanjikan atau ditentukan oleh suatu kebiasaan, yang dalam hal ini adalah kebiasaan yang timbul di dalam praktek penyelenggaraan pengangkutan barang melalui laut.
Mengingat perjanjian pengangkutan barang melalui laut ini bersifat pelayanan berkala, sehingga sifat perikatannya cenderung bergantung pada syarat-syarat yang diperjanjikan antara para pihak atau bergantung kepada kebiasaan yang berlaku. Untuk itu memungkinkan perjanjian pengangkutan ini memiliki sifat-sifat rangkap, yaitu dapat bersifat pemborongan maupun campuran, disamping sifatnya sebagai pelayanan berkala.
Sejalan dengan sifat-sifat hukum perjanjian pengangkutan ini, lebih lanjut ada beberapa pendapat, sebagai berikut : 1) Sifat hukum perjanjian pengangkutan adalah pelayanan
berkala, sebagaimana dikemukakan oleh Poerwosutjipto, Polak,
Molengraaff, Volimar dan Soekardono. 2) Sifat hukum perjanjian pengangkutan adalah pemborongan. 3) Sifat hukum perjanjian pengangkutan adalah campuran.
Disisi lain, sifat hukum perjanjian pengangkutan dapat pula bersifat “konsensual”, karena dalam praktek penyelenggaraannya tidak diisyaratkan harus berupa perjanjian tertulis, sehingga memungkinkan perjanjian tersebut cukup dilakukan secara lisan asalkan ada persetujuan kehendak dari para pihak (konsensus).
Disamping rumusan pengertian perjanjian pengangkutan yang bersifat timbal balik, sebagaimana dikemukakan oleh Soekardono ( 1986: 8 ) dan Purwosujtipto ( 1991: 2 ) di atas ada pula beberapa sarjana yang merumuskan perjanjian pengangkutan yang sifatnya sepihak. Hal ini dikemukakan oleh (Soerjatin,1979:205) bahwa pengertian perjanjian pengangkutan barang melalui laut, yaitu : “Suatu perjanjian untuk menyelenggarakan pengangkutan barang-barang melalui lautan, baik untuk seluruhnya maupun sebagian. Maka dengan demikian, dapat diartikan pula dengan kata perjanjian pengangkutan”.
Sementara itu, pengertian pengangkutan barang melalui laut yang senada juga dikemukakan oleh ( Tirtaamidjaja, 1980:183) yaitu “Persetujuan pengangkutan di laut dimaksudkan undang-undang adalah suatu persetujuan, dimana si pengangkut berjanji akan menyelenggarakan pengangkutan barang-barang buat semuanya atau sebagian melalui lautan “.
Dengan memahami pengertian perjanjian pengangkutan barang melalui laut yang terakhir diatas, dapat disimpulkan bahwa kedua pengertian tersebut termasuk dalam kategori perjanjian sepihak. Sifat perjanjian yang sepihak tersebut terutama terlihat dari : 1) Keduanya tidak menyebutkan secara jelas baik secara eksplisit
maupun implisit sifat timbal baliknya. 2) Keduanya hanya menekankan kepada kewajiban bagi pihak
pengangkut saja, sedangkan unsur lain yang berupa kewajiban
pihak pengirim (pemilik barang) tidak disebutkan Kedua definisi perjanjian pengangkutan barang melalui laut
tersebut, pada hakekatnya merupakan penafsiran dari ketentuan Pasal
466 dan Pasal 521 KUHD. yaitu :
1) Pasal 466 KUHD
“Pengangkut dalam arti bab ini ialah barang siapa yang baik dengan persetujuan carter menurut waktu maupun carter menurut perjalanan, baik dalam suatu persetujuan lain, mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan pengangkutan barang yang seluruhnya atau sebagian melalui lautan”.
2) Pasal 521 KUHD
“Pengangkutan dalam arti bab ini adalah barang siapa yang baik dengan suatu carter menurut waktu atau carter menurut perjalanan, baik dalam suatu persetujuan lain, mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan pengangkutan orang (penumpang) seluruhnya atau sebagian melalui lautan”.
Dalam pelaksanaan penyelenggaraan pengangkutan melalui laut, baik pengangkutan barang maupun penumpang, unsur kewajiban pemakai jasa pengangkutan yang berupa pembayaran biaya angkutan dirasa sangat penting untuk ditegaskan di dalam perjanjian tersebut. Hal ini menggambarkan adanya keseimbangan status antar pengangkut dengan pemakai jasa pengangkutan (pengirim/penumpang), mengingat pada prinsipnya hubungan antara para pihak di dalam perjanjian pengangkutan melalui laut ini bukan merupakan hubungan antara atasan dengan bawahannya (hubungan majikan dengan buruh), melainkan hubungan tersebut bersifat gecoordineerd (koordinasi).
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraaan pengangkutan barang melalui laut yang didasarkan pada suatu perjanjian pengangkutan barang, maka pihak pengangkut setelah manerima barang angkutan barang dari pihak pengirim (pemilik barang angkutan) segera menyerahkan bukti penerimaan barang angkutan yang berupa “konosemen” kepada pihak pengirim. Adapun pengertian konosemen sendiri telah diatur dalam Pasal 506 KUH, yaitu :
“Konosemen adalah suatu surat yang bertanggal, dalam mana si pengangkut menerangkan, bahwa ia telah menerima barang-barang tersebut untuk diangkutnya ke suatu tempat tujuan tertentu, begitu pula menerangkan dengan syarat-syarat apakah barang itu akan diserahkannya”.
Jual Gaharu Dari pengertian konosemen diatas, dapat diketahui bahwa bentuk konosemen berupa surat (surat muatan) yang di dalamnya berisi tentang tanggal diterimanya barang angkutan oleh pengangkut, tujuan pengangkutan, pihak yang berhak menerima barang angkutan di tempat tujuan pengangkutan, dan hal-hal lain yang erat kaitannya dengan barang angkutan yang bersangkutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar